Sungguh ketahuilah wahai diriku, apa manfaatnya melakukan maksiyat ?. Bukankah seorang kekasih tidak pernah ingin menyakiti hati kekasihnya.
Nama lengkapnya Abu Muhammad Sahal bin AbduLlah At-Tustari, hidup antara tahun 815 sampai 896 M di daerah Tustar, dekat kota Bashra. Sahal At-Tustari termasuk salah seorang imam di masanya dan memiliki kelebihan dalam kezuhudan, muammalah dan wara’ serta dikenal dengan keramatnya. Dia juga pernah belajar kepada Dzunun Al-Mishri di Makkah ketika ibadah haji.
Sahal bercerita, Ketika berumur tiga tahun di suatu malam yang syahdu ia terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Dia melihat pamannya Muhammad bin Siwar sedang melakukan shalat malam. Setelah selesai beberapa reka’at, pamannya beristirahat dan melihat ke arah Sahal. Pamannya mendekat dan berkata, “Wahai Sahal, tidurlah. Hari sudah larut malam”. Saat itu Sahal menjawab bahwa matanya tidak bisa tidur, apalagi melihat shalat pamannya. Pamannya mengajarkan Sahal agar berdzikir kepada Allah SWT. Lalu pamannya juga mengajarkan supaya Sahal selalu menbaca :”Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah saksiku”.
Oleh pamannya ia disuruh membaca kalimat tersebut secara bertahap, mulai dari tiga kali semalam. Setelah mantap, ditambah menjadi lima kali, setelah itu tujuh kali hingga sampai sebelas kali. Sahal mengakui setelah ia mempraktekkan dzikir itu secara teratur haitnya merasa tenang. Pamannya menasehati agar ia berdzikir secara istiqamah sampai maut menjemputnya. Dzikir dapat memberikan manfaat dunia dan akhirat. Sahal berucap, sejak saat itu saya mendapatkan manisnya dzikir di dalam hati”.
Sahal sering menasehati dirinya sendiri. Dia pernah berkata, “Wahai Sahal, jika seseorang senantiasa merasa bahwa Allah Yang Maha Agung selalu melihat dan menyaksikannya, apakah ia akan berkhianat dengan melakukan apa-apa yang dibencianya ?. Sungguh ketahuilah wahai diriku, apa manfaatnya melakukan maksiiyat ?, Bukankah serang kekasih tidak pernah ingin menyakiti hait kekasihnya ?. Lakukanlah khalwat agar dirimu selalu mendapat pencerahan.
Sejak kecil Sahal sudah mempunyai minat yang besar pada ilmu pengetahuan. Pada umur lima tahun ia sudah belajar kepada seorang ulama terkenal di kota kelahirannya. Tiap malam ia belajar dengan tekun dan penuh minat. Pada umur tujuh tahun Sahal sudah hafal Al-Qur’an. Waktu itu ia juga sudah berpuasa setiap hari, kebiasaan ini dilakukan sampai umur 12 tahun.
Makanan yang dimakannya hanyalah roti gandum. Dalam proses pencarian jati dirinya sering ia berkelana, diantaranya sering ia pergi ke Bashra. Beberapa saat di Bashra, kemudian ia belajar kepada Abu Habib Hamzah bin AbduLlah Al-Abadani di kota Abadan. Di sana ia menetap beberapa lama dan menuntut ilmu. Salah satu sikap wara’ yang diamalkannya adalah membatasi makanannya hanya dengan 10 dirham. Setiap malamnya ia sahur dengan satu ons gandum tanpa garam ataupun lauk.
Kelak id kehidupannya ia dikenal sebagai tokoh sufi yang amat wara’ dan zuhud. Sikap berhati-hati dalam beragama menjadi ciri khas Sahal dan ia bersungguh-sungguh ntuk menjadi tokoh yang bisa mencapai ridho Allah SWT.
Sikap lain yang menjadi kelabihan Sahal adalah ma’iaytuLlah yaitu suatu sikap merasa selalu diawasi, diamati, dan disertai oleh Allah Ta’ala. Hanya orang yang memiliki perasaan cinta yang total kepada Allah sajalah yang mampu menghadirkan Allah dalam setiap gerak langkah dan denyut nadi kehidupannya. Ketahuilah, bahwa setiap apa yang dilakukan oleh hamba Allah, tidak akan lepas dari catatan malaikat Allah. Meski sebesar biji zarah sekalipun. Inilah yang menjadi pegangan setiap pecinta Allah. Walah Allah tidak bisa disaksikan oleh makhluk, namun tidak ada yang luput dari perhatian Allah.
.
.
.
BREVE BIOGRAFÍA DE LA VIDA DE
FÁTIMA AZ- ZAHRA (P)
Preparado Por: Mesquita At-Tauhid - Buenos Aires - Argentina
«EN EL NOMBRE DE DIOS,
EL GRACIABILISIMO, EL MISERICORDIOSO
POR CIERTO QUE TE AGRACIAMOS CON LA ABUNDANCIA
REZA, PUES, A TU SEÑOR Y SACRIFICA
POR CIERTO QUE QUIEN TE ABORRECE ES EL ESTERIL»
(Sagrado Corán; Sura 109)
Los nombres de Fátima en el Paraíso son: "Nuriah" (Luminosa) y "Haniah" (Ternura).
Preguntaron cierta vez al Imam Sadiq (P): "¿Por qué han denominado "Zahrá" a Fátima?. Respondió: "Porque cuando Fátima oraba en su Mihrab, su luz brillaba para los habitantes de los cielos así como las estrellas brillan para los moradores de la tierra".
Y preguntaron también al Imam: "¿A qué se debe el nombre Fátima?" "La llamaron Fátima porque los humanos son incapaces de conocer su esencia".
En una ocasión el Profeta preguntó a Fátima: "¿Sabes por qué te llamas Fátima?" "¿Por qué?", preguntó Alí que se encontraba presente. Y explicó (BP): "Porque ella y quienes la sigan estarán a salvo del fuego infernal".
Su nombre: Fátima
Sus apodos: Ummul Hasan, Ummul Husain, Ummul Muhsin, Ummul A'immah y Ummu Abiha
Algunos de sus epítetos más conocidos: Zahra, Batul, Siddiqatul Kubra, Mubarakah, 'Adh:ra, Tahirah, Rad:iah, Mard:iah, Saiidatun Nisá, que significan, según el orden: Resplandesciente, Inmaculada, Gran Veraz, Bendita, Virgen, Purificada, Complaciente (a Dios), Complacida (de Dios), y Señora de las Mujeres.
Su padre: El Enviado de Dios, Muhammad Ibn Abdullah (BP) -Profeta del Islam-.
Su madre: Jadiyatul Kubra, esposa del Profeta y primera musulmana.
Lugar y fecha de nacimiento: La Meca, año 5 de la Bi'zah (Misión Profética).
Su martirio: Medina, año 11 de la Hiyrat (Hégira), dos meses y medio después del fallecimiento del Profeta.
Su sepulcro: Desconocido hasta la actualidad. Fue enterrada por el Imam Alí (P), a pedido expreso suyo y por razones políticas, ocultamente, en medio de la noche.
Sus hijos: Imam Hasan Al-Muytaba(P), Imam Husain Saiid Ash-Shuhada(P), Zainab Al-Kubra(P), Ummu Kulzum y Muhsin, que no llegó a nacer.
0 komentar:
Posting Komentar